Mendidik Anak Sesuai Zamannya
“Didiklah
anak-anakmu, karena mereka akan hidup pada zaman yang berbeda dengan zamanmu,” demikian pesan Khalifah Kedua Umat Islam, Umar bin
Khaththab. Pesan yang sungguh singkat dan mudah diingat.
Akan
tetapi, inilah tantangan besar yang benar-benar nyata bagi keluarga Muslim abad
ini. Yakni, bagaimana mendidik anak sesuai zamannya. Dikatakan demikian karena
di era kekinian berbagai macam konsep dan model pendidikan sungguh sangat
variatif.
Lebih
dari itu, dari sisi budaya, pergaulan dan perkembangan sosial, anak-anak sangat
rentan ‘menelan’ begitu saja apa yang menurut naluri mereka asyik dan menarik
tanpa mempedulikan batasan norma dan agama. Tidak mengherankan, jika kemudian
anak-anak masa kini tidak begitu tertarik dengan konsep-konsep dasar dan
penting dalam Islam.
Di
sinilah banyak orang tua yang nampak kewalahan dalam menghadapi perilaku anak.
Sebagian ada yang mengambil tindakan ekstrem dengan mengisolir anak dari
perkembangan zaman. Sebagian justru apatis dan membiarkan anaknya tumbuh sesuai
dengan perkembangan zaman yang berlangsung.
Karena itu, agar para guru, para orang
tua terus mengembangkan pengetahuannya dalam Ilmu Pengetahuan, dan mengajarkan
anak- anak sesuai dengan kepentingan masa yang akan datang, bukan masa kini
apalagi masa lalu. Ketika zaman berubah tentu tantangannyapun berubah, baik itu
tantangan untuk bertahan hidup, tantangan dalam pergaulan, tantangan dalam
menuntut ilmu serta tantangan-tantangan lainnya. Perubahan zaman inipun
berdampak pada perubahan cara kita mendidik dan berkomunikasi dengan anak.
Sumber
ilmu pengetahuan itu ada dalam Islam. Itu dijelaskan dalam banyak ayat dan
hadist. Bahkan Allah akan meninggikan orang- orang yang berilmu pengetahuan
beberapa derajat, dan sumber kebahagian dunia dan akhirat adalah dengan ilmu
pengetahuan.
Untuk
itu, kondisi tersebut menjadi 'PR' bagi guru dan orang tua dalam mempersiapkan
anak- anak agar siap menghadapi tuntutan zamannya. Sehingga anak menjadi anak
yang bermanfaat serta berdaya guna serta jadi amal kebaikan orang tua kelak.
Banyak yang bilang, saat ini kita
berada di zaman Abad 21 yang disebut juga Abad Milenium, di mana semua
alat-alat serba canggih, hampir semua menggunakan mesin, contohnya memasak
nasi, pemanas air sampai media komunikasi. Hal ini memberikan efek positif
yakni mempermudah/mempercepat proses tersebut. Tetapi, di sisi lain bisa
memberi efek negatif, contoh apabila alat komunikasi seperti
handphone tidak di gunakan dengan benar bisa merusak generasi anak-anak kita.
Diperlukan metode khusus
mendidik generasi Islam di Abad 21 yang penuh tantangan, dilema, dan banyak
faktor yang akan menjauhkan mereka dari agamanya, terutama paham
liberal/kebebasan dalam bersikap dan berpendapat tanpa aturan menjadi
kepribadian anak-anak kita.
Selain
itu, evolusi materi yang meniadakan Tuhan harus dijauhkan karena sebagai
contoh, mana mungkin sebuah batu bisa berevolusi menjadi sebuah rumah tanpa ada
tangan-tangan manusia yang mengerjakan.
Di sinilah perlu dilakukan
berpikir kritis dengan cara menguji setiap hal yang di hadapi termasuk di dalam
nya yang diuji mengenai fakta permasalahan, informasi/sumber berita, dan
pemikiran/solusi agar bisa di buktikan kebenarannya.
Islam mengajarkan berfikir
mendalam/kritis atas setiap persoalan,tidak boleh taqlid dan sekedar mengikuti
pendapat kebanyakan orang.
Mengajarkan
anak untuk berfikir sebelum berbuat diawali dengan penanaman aqidah Islam, yang
mampu menuntun mereka dalam membedakan yang hak dan batil, terutama mengenalkan
keberadaan Allah Subhanahu Wata’ala adalah nyata yang bisa diperkenalkan dari
ciptaan-ciptaan-Nya.
Sebagai
Muslim, tentu dua jenis respon tersebut sangat tidak dianjurkan. Islam
itu tsawabit (tetap) tetapi sekaligus mutaghayyirat (fleksibel).Tsawabit dalam
konteks aqidah, seperti yang disampaikan oleh Luqman Al-Hakim kepada anaknya
agar tidak mempersekutukan Allah (QS. 31: 13).
Mutaghayyirat dalam
hal skill penting yang mesti dikuasai seorang anak. Hal ini tidak bisa berlaku
sama persis secara praktik sebagaimana Nabi menjalankan pendidikan skill kepada
anak-anak. Misalnya terhadap hadits yang mengatakan bahwa anak-anak perlu
diajari skill memanah, berenang dan berkuda.
Dalam
konteks modern maka segala hal yang dianggap penting bagi kemajuan pribadi
maupun kolektif umat, segenap orang tua perlu mendidik anak-anak mereka
menguasai kesemua hal itu. Misalnya menguasai komputer, kimia, kedokteran, atau
pun skill lainnya.
Jadi,
pengertian mendidik anak sesuai zamannya adalah mengarahkan anak-anak kita
mampu survive dalam zaman dimana dia hidup, sehingga mampu
menjadi insan yang mandiri dan kontributif bagi kemaslahatan umat.
Mengenai
pendidikan yang bersifat tsawabit (aqidah dan ibadah) maka
orang tua harus menempatkannya sebagai yang paling utama. Lebih dahulu dan
lebih penting dari penanaman skill. Sebab, kecerdasan skill yang tidak
dilandasi dengan aqidah yang kokoh hanya akan menimbulkan kerusakan demi
kerusakan.
Seperti
yang kita lihat dan rasakan di zaman ini. Betapa mereka yang terdidik secara
kognitif ternyata banyak yang tidak mampu memengang teguh norma-norma agama,
moral, dan sosial. Tinggi intelektualitasnya namun rendah integritasnya.
Semua
ini dikarenakan konsep yang keliru dalam pendidikan anak. Dimana atas nama
perkembangan zaman aspek yang mutaghayyirat dikejar-kejar,
sementara yang tsawabit justru diabaikan.
Kebutuhan
Zaman
Ketika
Rasulullah bersabda bahwa anak-anak keluarga Muslim perlu diajari memanah,
berenang dan berkuda, situasi zaman saat itu, umat Islam berhadapan dengan
zaman perang secara fisik, sehingga kontribusi nyata yang sangat diperlukan
umat kala itu adalah skill dalam bertempur.
Tidak
heran, jika banyak bermunculan pemuda-pemuda belia yang memiliki kapasitas
tempur yang luar biasa. Tidak saja secara skill individu dalam mengalahkan
musuh, tetapi juga pada aspek strategi memimpin pasukan. Ini bisa kita lihat pada
sosok Usamah bin Zaid atau pun Thariq bin Ziyadh.
Tetapi,
bagaimana dengan saat ini? Apakah hadits tersebut sudah tidak relevan,
sebagaimana anggapan kaum sekuler? Atau justru hadits tersebut merupakan
petunjuk kunci bagi umat Islam di abad modern ini mampu menjadi umat terbaik?
Tentu
hadits tersebut merupakan petunjuk kunci bagi umat Islam untuksurvive di
segala zaman. Memanah, berenang dan berkuda, di zaman sekarang tentu tidak
begitu relevan. Akan tetapi, apa yang saat ini dibutuhkan umat seperti yang
dibutuhkan zaman Nabi kala itu bukanlah suatu hal yang sulit untuk dicerna.
Misalnya,
ke depan umat Islam memerlukan pakar di bidang kesehatan, karena saat ini
banyak sekali obat yang diduga mengandung unsur-unsur keharaman (organ babi).
Kemudian, misalnya ke depan umat Islam memerlukan media siaran audio visual
yang handal, dan lain sebagainya.
Maka,
pada tantangan-tantangan itulah anak-anak kita perlu dididik. Artinya,
anak-anak kita harus mengerti dunia kesehatan (kedokteran) dan teknologi informasi,
sehingga umat Islam bisa dijamin sehat fisik dan pemikirannya. Dalam ranah
inilah orang tua harus mendorong putra-putrinya untuk giat belajar.
“Nak,
rajin-rajinlah belajar. Jadilah kamu orang yang ahli di bidang kesehatan.
Karena umat Islam perlu seorang dokter yang bisa meramu obat atau ramuan yang
benar-benar sesuai tuntunan syar’i. Yang mujarab tapi tidak mahal,” misalnya.
Atau,
“Nak, tingkatkanlah kemampuanmu dalam bidang teknologi informasi. Ayah ingin
kamu kelak menjadi pakar IT yang bisa mensolusikan siaran televisi nasional
untuk umat Islam. Agar anak-anak kaum Muslimin di negeri ini menjadi anak-anak
yang sholeh dan sholehah.”
Dengan
demikian maka dapat dipahami bahwa mendidik anak sesuai zamannya adalah
mengarahkan anak-anak pada kemampuan-kemampuan tertentu yang memungkinkan
mereka menjadi problem solveratas segala macam
permasalahan-permasalahan yang dihadapi umat Islam.
Haus
Ilmu
Satu
hal yang paling fundamental dalam bahasan mendidik anak sesuai zamannya adalah
bagaimana orang tua menjadikan putra-putri mereka haus terhadap ilmu. Ini bukan
pekerjaan ringan, terlebih jika orang tua tidak memiliki ketertarikan yang
tinggi terhadap ilmu.
Rasa
selalu ingin menuntut ilmu harus ditumbuhkan sedini mungkin. Di sinilah
kandungan substansial dari hadits Nabi bahwa, “menuntut ilmu itu dari lahir
hingga liang lahat,” benar-benar harus kita implementasikan.
Bagaimana
itu kita wujudkan? Mungkin panjang bahasan akan hal ini. Tetapi kita bisa
tafakkuri apa yang dicontohkan guru dari Imam Bukhari, yakni Yahya bin Ma’in
(233 H).
Beliau
mendapatkan warisan dari ayahnya sebesar 1 juta dirham dan 50 ribu dinar. Semua
itu dihabiskan Yahya untuk mencari hadits, sehingga sandalpun ia tidak
memilikinya. Dari harta itu, Yahya memiliki 114 rak yang penuh dengan buku.
Bisa dibayangkan, betapa sangat hausnya beliau terhadap ilmu.
Jadi,
wajar jika ketika mendidik generasi muda, Yahya bin Ma’in mampu mencetak kader
Muslim sehebat Imam Bukhari, yang merupakan problem solver atas
kebutuhan umat terhadap pegangan otentik sumber ilmu dan sumber hukum Islam
kedua, yang tetap berlaku hingga saat ini bahkan akhir zaman.*
0 comments:
Posting Komentar